Sekolah Impian [Late Post]
Kemajuan suatu peradaban bergantung dari pergerakan
dan pola pikir masyarakatnya. Pergerakan dan pola pikir tersebut tentu berakar
dari pendidikan. Mengapa? Aspek-aspek pendidikan berinfluensi massive bagi kehidupan sosial sehingga
perkembangan suatu lapisan masyarakat tidak lepas dari faktor pendidikannya.
Itulah salah satu urgensi pendidikan.
Pendidikan untuk apa? Pendidikan adalah hal penting
dalam terciptanya kehidupan yang teratur. Makna keteraturan di sini bukan
sesempit makna disiplin, atau setiap jam dalam harinya harus sesuai standar
ideal, tetapi keteraturan di sini adalah bagaimana menata kehidupan seseorang
supaya bisa ikut berperan membangun peradaban yang sejahtera. Pendidikan
direalisasikan dengan proses belajar.
Sesuai yang ada sekarang, yang dibayangkan tentang
belajar adalah membaca buku pelajaran, menulis dengan kertas dan pulpen/pensil,
berhitung, dan atau menghafal. Definisi belajar tersebut adalah standarnya,
yang memberi kesan terikat. Padahal, arti belajar itu luas dan sebenarnya ada kebebasan
di sana. Contoh sederhana: seorang anak kecil belajar berjalan, jatuh, mencoba
lagi sampai bisa berjalan. Karena inti dari belajar adalah dari yang tidak tahu
menjadi tahu, dari yang tidak bisa menjadi bisa.
Melihat Indonesia, pendidikan masih terus disoroti,
terutama pada part sistemnya.
Institusi pendidikan sudah meluluskan berjuta jiwa, tetapi tujuan menciptakan
peradaban yang sejahtera masih saja belum tercapai. Kesejahteraan masyarakat masih
tidak merata. Ada golongan yang sukses di dunia kerja sebagai hasil dari
pendidikan, tetapi di era yang sama, ada golongan yang masih miskin dengan
alasan tidak mendapat pendidikan yang layak. Sangat disayangkan ketika
seseorang yang sudah dianugerahi potensi oleh Tuhan tidak berkesempatan
mengembangkannya karena mungkin faktor finansial, fasilitas terbatas, atau
bahkan minat yang kurang. Pemerintah juga sudah berupaya mengatasi pesoalan
finansial dan fasilitas, saya akan mencoba bahas mengenai bagaimana seseorang
bahkan tidak memiliki minat pendidikan. Apa yang salah dan sebaiknya bagaimana.
***
Timbul pertanyaan, Apa yang kamu
suka dari sekolah? Ketika tidak ada guru. Jam istirahat. Ngobrol sama teman. Pulang cepat. Pengumuman besok libur.
Semua murid suka kebebasan. Itulah salah satu poin yang saya dapat dari alasan-alasan
tersebut. Bukan hal yang tidak mungkin ketika dalam proses belajar, guru dapat
memberikan kebebasan kepada murid-muridnya. Kebebasan berekspresi, berpendapat,
melakukan apa yang disukai, tentu dalam batas tanggung jawab. Saya
terinspirasi dari sebuah novel berjudul 'Toto-Chan, Gadis Cilik di Jendela'
yang intinya menceritakan seorang anak di Jepang yg enggan belajar dengan
sistem formal. Toto-chan lebih senang bereskrpesi, belajar dengan ruang gerak yang
lebih leluasa sesuai apa yang dia suka. Karakter toto-chan ini menyiratkan
bahwa pada dasarnya, anak-anak itu senang dengan kebebasan dan bagi mereka,
larangan adalah hal yang dibenci. Seringkali kita lihat peraturan institusi
pendidikan berjalan dengan sistem yang menurut mereka ideal, sehingga
menyetarakan semua bakat muridnya, secara tidak langsung membatasi ekspresi mereka.
Selain itu, saya mendapatkan sebuah nilai: guru
telah terdegradasi posisinya. Pernyataan bahwa murid senang ketika tidak ada guru membuktikannya. Saya belum
pernah tahu rasanya menjadi seorang guru yang tidak diharapkan kehadirannya,
tetapi ketika memang ada kasus seperti itu, di sanalah evaluasi seorang guru. Pesoalan
materi pelajaran yang membosankan atau tidak disukai sebenarnya bisa ditutupi
ketika seorang guru mampu menguasai suasana kelas dengan baik dan murid-murid
senang dengan keberadaannya.
Sosok teman juga menjadi peran yang penting dalam
sekolah. Selain wadah untuk mencari ilmu, sekolah juga tempat bersosialisasi.
Seorang teman dapat memberikan pengaruh perkembangan kepada temannya yang lain,
entah itu pengaruh baik atau buruk. Saya mengiyakan pernyataan semangat sekolah karena bertemu dengan
teman-teman. Karena sebagai murid, saya merasa senang ketika dapat menghabiskan
waktu belajar dan bermain bersama. Di sini juga guru berperan sebagai agen
sosial agar mencetak murid-murid yang tidak soliter. Banyak nilai yang
dapat diambil dari ‘pelajaran berteman’, seperti bagaimana menghargai orang
lain, bagaimana membantu kesulitan orang lain, bagaimana menjadi pribadi rendah
hati dan tidak sombong, dan lainnya.
***
Apa yang kamu tidak suka dari sekolah? Tugas banyak.
Orientasi nilai dan gelar. Duduk rapi berjam-jam
pelajaran. Guru ngobrol dengan papan
tulis.
Tugas yang banyak bukan merupakan suatu hal yang
salah, tetapi seringkali para murid mengeluh akan tugas yang banyak, orientasi
mereka hanya pada tugas cepat selesai dan dikumpulkan tepat waktu. Guru pasti
sudah mempertimbangkan porsi tugas yang diberikan kepada muridnya, hanya saja
guru juga harus memastikan apakah ilmu dari tugas itu sepenuhnya didapat atau
justru output yang seharusnya paham
ilmu, menjadi hanya lelah bekerja?
Duduk rapi berjam-jam pelajaran. Lagi-lagi bukan hal
yang salah ketika sistem mengharuskan pelajar duduk rapi saat mendapatkan
materi pelajaran, tetapi yang sering dilupakan oleh pemateri adalah bahwa
setiap orang memiliki titik jenuh dari keadaannya masing-masing, bahwa manusia
bukanlah robot yang dalam 2 jam bisa patuh diam sesuai instruksi kerja awal. Saya
ingat pada salah satu kelas kuliah saya. Jadwal mengharuskan kuliah diberikan
dalam waktu 2 jam, tetapi dosen saya selalu memberi ‘istirahat’ setelah 1 jam
kuliah. Istirahatnya dapat berupa pemutaran video lucu, membuat tertawa, atau
cerita-cerita ringan yang menarik. Kalau dihitung kurang lebih sekitar 15 menit
sebelum melanjutkan kuliah 1 jam berikutnya. Saya berkesimpulan bahwa ketika
banyak mahasiswa sampai pada titik jenuh berpikir, dosen tersebut sudah tahu apa
yang bisa dilakukan untuk refreshing
agar mahasiswa-mahasiswanya dapat kembali melanjutkan pelajaran dengan baik.
Dari hal tersebut, sebagai seorang pendidik harus bisa mengantisipasi kebosanan
para murid agar semangat belajarnya tidak hilang.
Orientasi nilai dan gelar. Sistem
pendidikan Indonesia saat ini secara tidak langsung 'menuntut' para muridnya
untuk mendapat nilai dan gelar setinggi-tingginya. Karena berorientasi hanya
pada nilai, banyak murid mengandalkan kemampuan bersaingnya, agar di setiap
bidang pelajaran mendapat nilai terbaik. Hal tersebut tidaklah buruk, nilai
memang bisa menjadi motivasi belajar seseorang, tetapi lama kelamaan justru
menjadi orientasi belajar yg salah. Seharusnya berorientasi pada ilmu malah sibuk mengejar nilai bagus. Guru
pun menjadi “mesin pemberi nilai”. Karena seharusnya, destinasi belajar yang utama adalah
mendapatkan ilmu, bukan nilai. Sistem pendidikan yang sudah membudayakan
mencari nilai ini disalahgunakan banyak murid di Indonesia, demi mendapat nilai
terbaik, hal buruk pun dilakukan. Menyontek, membeli soal ujian, membayar mahal
untuk mendapatkan gelar, dan sebagainya. Bukankah ketidakjujuran tersebut
adalah cikal bakal koruptor? Jadi hasil dari pendidikan adalah koruptor? Tujuan
pendidikan yang menyebutkan mencerdaskan kehidupan jelas tidak tercapai.
Guru ngobrol
dengan papan tulis. Saya melakukan survey singkat kepada orang-orang yg pernah/masih
berstatus sebagai murid tentang 'alasan
malas sekolah', dan saya tertegun dengan jawaban “Mending belajar sendiri, lebih ngerti, habis gurunya ngajar sendiri, cuma
kaya menggugurkan kewajiban.” Murid pun bisa merasakan baik atau tidaknya
seorang guru mengajar. Tugas guru memang sebagai pengajar, tetapi ada nilai
lebih yang harus dibawa seorang guru yaitu tentang mendidik. Itulah mengapa
seorang guru dituntut untuk menjadi 'psikolog tanpa gelar', karena selain
bermodalkan ilmu, guru juga harus membawa hatinya
saat berhadapan dengan murid. Jadi, jangan sampai dijuluki ngobrol dengan papan tulis. Interaksi dari hati adalah salah satu upaya
mendidik. Dalam aplikasinya, bisa saja secara sederhana guru menyelipkan nilai-nilai kehidupan atas
apa yang telah/sedang dipelajari murid-muridnya. Dengan begitu, ilmu bukan saja
lahir sebagai teori, tapi juga sebagai penerapan.
***
SEKOLAH
IMPIAN
Saya tertarik ketika diminta membayangkan tentang
sekolah impian. Idealnya, saya ingin sebuah sekolah yang murid-muridnya belajar
mengembangkan bakat secara total sekaligus belajar membuat bakat itu bermanfaat
bagi kehidupan orang banyak.
Manusia dilahirkan dengan bakat dan keahliannya
masing-masing. Potensi menjadi hal lebih mendasarnya. Ditemukan atau tidaknya
bakat seseorang, tergantung pada lingkungannya. Apa sekitarnya mendukung? Atau
justru mematikan? Saya membayangkan sebuah sekolah yang bisa menjadi ‘penemu’
bakat murid-muridnya, dan sekolah itu berperan besar dalam pengembangan
bakat tersebut. Di dalamnya diberikan waktu bebas untuk murid-murid melakukan
hal yg mereka suka dengan aturan hasilnya: harus bisa bermanfaat bagi orang
lain. Sesederhana apapun manfaat itu. Jangan melupakan soal mimpi dan cita-cita
karena sesuatu yang besar itu berawal dari mimpi. Saya membayangkan sekolah
impian itu berisi ratusan mimpi murid-muridnya dan tugas sekolah itu adalah
sebagai pembantu perwujudan mimpi.
Pengalaman adalah guru terbaik. sudah
tidak asing pepatah itu didengar. Guru kelas memang memberikan materi pelajaran
sesuai kurikulum yg sudah ditentukan. Kurikulum juga dibuat untuk
terstrukturnya sistem pembelajaran, tapi seringkali sifat formal kurikulum itu
membosankan. Saya membayangkan sebuah sekolah impian yg mampu menanamkan
nilai-nilai kehidupan melalui 'aktivitas' yg mereka lakukan. Bukan secara teori
lalu dikerjakan, namun, dengan merealisasikannya terlebih dahulu kemudian
diambil pelajarannya. Jadi para murid belajar dari apa yang dilakukan, bukan hanya
melakukan apa yang dipelajari. Karena bagaimana pun pengalaman akan lebih
esensial.
Saya juga ingin sebuah sekolah yang mengajarkan muridnya untuk berdamai
dengan kegagalan sehingga mereka tidak takut gagal. Dengan begitu, mereka akan
terus semangat mencoba, mencoba, dan mencoba, menanamkan bahwa sistem trial and eror itu bukan hal yang buruk.
Selama terus menjunjung tinggi daya juang dan pantang menyerah, sekolah itu
harus membantu membuktikan kepada muridnya bahwa dibalik kegagalan pasti ada
keberhasilan.
Budaya apresiasi. Sekolah impian yang saya bayangkan juga berisi para
pendidik yang menjunjung tinggi apresiasi. Karena tidak dipungkiri, apresiasi
adalah salah satu cara guru memotivasi belajar murid-murid. Nilai memang bisa
menjadi salah satu alatnya, tetapi di samping itu, apresiasi sederhana yang
guru lakukan langsung (misal dengan memuji karya murid) juga tidak kalah
memotivasi.
Peran guru di sekolah impian: saya ingin di sekolah itu para pendidiknya
adalah manusia-manusia yang tidak pernah berhenti belajar. Sekolah bukan hanya
menjadi tempat belajar murid, melainkan juga tempat guru belajar. Selain itu,
guru sebagai teladan juga menjadi fokus. Guru teladan; yang meminta muridnya
melakukan hal terpuji ketika dirinya sudah melakukannya terlebih dahulu,
menghindari hal tercela sebelum melarang muridnya melakukan hal tercela itu.
***
Penutup:
Learning by doing
Pada dasarnya anak-anak itu banyak pandai berimajinasi dan dengan
imajinasinya, mereka kaya akan mimpi-mimpi besar (yg bahkan orang seumur kita
pun tidak terpikirkan). Justru di situlah ranah guru harus bisa membuat para
murid 'mendeklarasikan' mimpinya. Peran guru adalah membantu pencapaian mimpi
tersebut.
Sekolah itu adalah fasilitas, yang seharusnya bisa digunakan murid-murid
untuk memberikan output yang sangat bermanfaat. Jadi sistem sekolah pun
harus dibenahi untuk pencapaian output tersebut.
Seidealnya teori, seorang pendidik ingin menjadikan muridnya sukses semua,
tapi jangan lupa akan kalimat: kita tidak
bisa membuat senang semua orang. Dengan kata lain, jika ada 50 kepala murid
dengan 50 karakter, apakah seorang guru harus mengubah menjadi 50 sifat sesuai
masing-masing murid? Di sini guru harus belajar ‘mengambil-alih’ suasana, apa
yang mayoritas murid sukai dan tidak. Kembali diingatkan bahwa guru pun tetap
harus belajar, mungkin memang tidak lagi belajar semua ilmu, tapi lebih kepada
belajar mendapatkan cara terbaik mendidik murid-muridnya. Guru bukan sebagai
agen menyuapi, tapi sebagai penanam determinasi murid-muridnya untuk menjadi
seorang yang sukses.
Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa; keberhasilan
guru sebagai pahlawan adalah ketika berhasil membuat orang lain berjasa.
Bandung, 27 September 2012
Yang sedang belajar menjadi seorang guru.
Yang sedang belajar menjadi seorang guru.
No comments for "Sekolah Impian [Late Post]"
Post a Comment
Silakan berkomentar :)