Kita dan Lingkungan
Halo semua! Alhamdulillah walaupun mood belajar nol besar banget, tapi syukurlah tergantikan dengan mood nulis. Jadi deh satu tulisan..... Kali ini gue mau berbagi atas apa yang gue kutip di suatu pagi...di kelas mata kuliah Unit Operasi dan Sistem Hayati. *Sebenarnya kutipannya gak terlalu nyambung sama materi kuliahnya...cuma gue langsung terinspirasi banget*
Jadi, dosen gue itu seneng banget yang namanya “mengambil hikmah” dari apa yang dipelajari, sering mengaitkan ilmu dengan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari, which is good I think, because learning is not only about calculating, explaining, reading text book, or other formal things, isn’t it? Nah, jadi kurang lebih inti kutipannya begini...
“Banyak yang fokus dengan bagaimana mengubah genetis tanaman, padahal merekayasa lingkungan bisa menjadi alternatif, apalagi kalau tujuannya memperbanyak. Kalau ngubah genetis, butuh waktu lebih lama. Saya yakin, biji yang tidak unggul pun mampu tumbuh baik ketika diberi perlakuan sesuai, diatur cahaya, suhu, kelembaban, penambahan nutrisi, dll...... (kalimat beliau belum selesai, tapi gue cut dulu... to be continued)
For your information, sebelumnya gue mau kasih pengantar, tentang jurusan gue. *Oke ini promosi*. Kalau dihitung, udah lebih dari 10x gue ditanya oleh (juga) lebih 10 orang berbeda soal jurusan “Rekayasa Hayati”, dan pertanyaan mainstreamnya adalah “Lu rekayasa hayati? Berarti lu bisa bikin makhluk hidup baru? Lu bisa ngutak ngatik gen pisang jadi pisangnya warna biru dong (???) Lu ngutak ngatik gen mahkluk hidup bisa bikin kloningan manusia dong? -.-“ dan gue ga bosen juga jawab “Gue ga ngerekayasa gen.” Ingin meluruskan, rekayasa hayati yang gue jalani sekarang itu, pada intinya, fokus merekayasa lingkungan untuk “target rekayasa” agar si “target rekayasa” ini bisa menghasilkan sesuatu yang kita inginkan. Untuk 5 tahun pertama ini, target rekayasa yang digunakan adalah tumbuhan. Jadi sederhananya, kalau emang pengen bikin pisang warna biru, ya diatur cahaya, suhu, kelembaban, nutrisi untuk tanaman pisang itu biar jadi warna biru, bukan mengubah kode genetik di dalam pisang sehingga pisang menjadi biru. Ini misal ya.
Salah satu tujuannya adalah untuk proses scaling up. Dalam skala industri, misal kita butuh tumbuhan A untuk menjadi biofuel, kita pasti butuh tumbuhan A itu dalam jumlah yang besar, kan? Oleh karena itu, butuh orang-orang yang bisa memperbanyak biomassa tumbuhan A itu, dengan merekayasa kondisi, mengontrol sistem tumbuhnya, bukan mengubah genetik tumbuhan A.
Contoh lainnya, kalau gue tetep tertarik dengan hal-hal yang berbau kesehatan ^o^. Tumbuhan itu, dalam kondisi tertentu, dapat menghasilkan senyawa metabolit sekunder *kalau belum tau apa itu metabolit sekunder, silakan new tab -- www. google.com -- search: metabolit sekunder* :D. Nah....Metabolit sekunder tumbuhan itu punya manfaat tersendiri untuk manusia, banyak ilmuwan telah meneliti ada senyawa antikanker dan antiviral misalnya, yang bisa digunakan sebagai “bahan obat”. Misal tumbuhan B diketahui memiliki metabolit sekunder X yang berguna sebagai antikanker. Nah, nanti, tugas jurusan gue, memperbanyak tumbuhan B dalam suatu sistem terkendali sehingga senyawa antikanker yang dihasilkan banyak dan bisa selanjutnya “diracik” menjadi obat oleh farmasi. Di awal diberi tahu bahwa senyawa metabolit sekunder itu bisa didapat hanya pada kondisi tertentu, maka...tugas gue adalah merekayasa “kondisi tertentu seperti apa” yang memungkinkan metabolit sekunder itu dihasilkan. Sederhananya, faktor lingkungan akan mengaktivasi enzim-enzim pembentuk metabolit, jalur biosintesisnya “dibelokkan”. Setelah gue diskusi sama seorang teman calon dokter *asik*, bilangnya sih prinsip rekayasa jalur biosintesis mirip sama sistem obat bekerja pada tubuh. Waahh :”)
Balik lagi ke pernyataan dosen gue.... Itulah mengapa merekayasa lingkungan juga menjadi hal penting dalam suatu pertumbuhan apalagi jika tujuannya memperbanyak dan dalam waktu singkat. Hal yang membuat gue langsung semangat pengen nulis adalah ketika beliau melanjutkan kalimatnya tadi dengan sebuah analogi....
“...bibit tumbuhan juga sama halnya seperti seorang anak. Contohnya anak jalanan yang kurus kering hitam jarang makan misalnya, ketika dia dipindahkan ke sebuah rumah orang kaya, kemudian diberi makan banyak, pakaian bagus, tidur nyaman, beberapa bulan kemudian, lihat perubahannya, bisa jadi si anak sudah sehat kembali, gemuk, dan cukup nutrisi.”
Tanpa memikirkan pengecualian lain, gue ngangguk-ngangguk setuju dengan pernyataan dosen gue itu. Alhasil sebelum gue nulis ini, gue nanya ke salah satu temen gue yang dari SMA cinta banget sama genetika, mahasiswi FKUI 2012, inisialnya DA *emang panggilannya -_-* Nah...
A: “De, sifat genetis yang permanen apa aja sih?”
D: “Hemm.. warna mata warna kulit.”
A: “Kayak misal ortu kita pendek..apa kita permanen bakal pendek?”
D: “Nggaaa dongg hahaha. Itu kan ada faktor lingkungan juga. Kaya tulang, itu stimulus pertumbuhannya tekanan.”
A: “Warna kulit tapi kalau misal pake body lotion pemutih dll tetep ada kemungkinan berubah ga? Semua bisa dimodif lingkungan sebenernya?”
D: “Setau gue gitu kok bisa dimodif. Emang kenapa warna kulit lu??? Hahahha.”( plis laaah bukan fokus ke warna kulit gue :”””((((( )
A: “tapi kalau penyakit genetis, itu gimana?”
D: “Penyakit genetis gimana nih contohnya? Kalau hemofilia, down syndrom dll ya itu pakem. Tapi kalo misalnya kita ada kakek meninggal karena diabet..nah kita bukan ngebawa penyakit itu, tapi jadi lebih prone aja mungkin..pokoknya penyakit yang golongan noncommunicable disease or penyakit karena gaya hidup itu bisa dicegah sm life style. Ditreatment ya, bukan dicegah kalau genetis, kalau yang non comunnicable disease bisa dicegah.”
Kali ini, asumsikan... untuk mengabaikan hemofilia, down syndrom, dan penyakit genetis permanen lainnya.
Gue tetep akan mengambil hikmah bahwa lingkungan itu berpengaruh banget loh, dalam kehidupan kita. Misal, kalau mau tinggi, olahraga yang loncat-loncat (Buwono, 2014) atau kalau mau gendut, makan banyak (Arina, 2014).
Sama halnya dengan tumbuhan yang tadi dosen gue bilang.....sama halnya dengan perlakuan untuk anak jalanan tadi juga....dan sama halnya dengan kehidupan. :)
Jangan berharap tumbuhan bisa tumbuh cantik ketika tanah tandus, tidak ada air dan miskin mineral. Jangan berharap akan terjadi fotosintesis ketika tidak ada cahaya. Jangan berharap hidup sehat ketika asupan gizi dan olahraga kurang. Jangan berharap bisa menjadi pembisnis sukses ketika tidak kenal pasar dan terjun langsung, dan...peribahasa yang pasti pernah didengar: jangan berharap menjadi pelaut ulung jika ombak lautan tidak besar. Semua itu ada kontribusi lingkungan.
Kasus umum lain adalah... sering kan kita ngeliat teman kita berubah, terus suka ngeluh "ih dia sekarang berubah"... ya bisa jadi itu pengaruh lingkungan; realnya misal tempaan sebuah sistem organisasi, pengaruh sistem kaderisasi, atau bahkan sekadar lingkup suasana kelas. Tentunya, yang terpenting, perubahan positiflah yang kita semua harapkan :D
Hadits Riwayat Abu Musa ra.:
“Dari Nabi Saw., beliau bersabda: “Sesungguhnya perumpamaan berkawan dengan orang saleh dan berkawan dengan orang jahat adalah seperti seorang penjual minyak wangi (misk) dan seorang peniup dapur tukang besi. Penjual minyak wangi, dia mungkin akan memberikan kamu atau kamu akan membeli darinya atau kamu akan mendapatkan aroma harum darinya. Tetapi peniup dapur tukang besi, mungkin dia akna membakar pakaianmu atau kamu akan mencium bau yang tidak sedap “”(Shahih Muslim No. 4762)
Jadi juga teringat lirik lagu Opick...
“Obat hati ada lima perkaranya...... yang ketiga berkumpullah dengan orang sholeh...”
Hiduplah di lingkungan yang baik, dengan begitu, akan banyak kebaikan-kebaikan yang hadir untuk kita dan oleh kita, tentang saling mengingatkan dalam hal kebaikan, berlomba-lomba dalam kebaikan, bahkan hal hebat adalah ketika kita bisa berkontribusi menciptakan lingkungan yang baik itu (sama seperti rekayasa hayati :p merekayasa lingkungan untuk menghasilkan biomassa banyak yang bermanfaat #masihpromosi).
Karena benar, di lingkaran kebaikan itu....selalu menjadi yang terindah... menjadi rindu ketika jauh, haru ketika dekat.
Asrama ITB Jatinangor, 21:09 WIB
Mahasiswi Rekayasa Hayati,
Institut Teknologi Bandung 2012