Bendera Putih
Kalau mampu, sekarang juga aku kibarkan bendera berwarna putih di depan kedua pelupuk matamu.
Tidak terlihat?
Sini lihat aku melangkah mundur beberapa meter, menggenggam dua bendera putih itu. Secara nyata.
Masih tidak terlihat?
Coba, tengok sini sebentar. Karena ternyata ini soalmu saja yang tidak mau menoleh.
Mari ku beri tahu, sejatinya, bendera putih itu sudah ada sejak lama.
Namun tidak terlihat.
Atau pura-pura tidak dilihat. Olehmu.
Iya. Akhirnya aku lelah dengan peperangan ini. Peperangan penuh canda menyakitkan, tawa yang palsu, air mata yang sudah pasti, terlebih lagi, bawa-bawa hati yang keruh. Memalukan. Kau sudah sangat mengenal temanmu yang teramat mudah menyerah ini kan? Atau kalau kau masih terlalu berbaik sangka.....ini bukan soal menyerah, ini perihal damai.
Sudah menahun rasanya menjadi pejuang yang tidak dipertemukan dengan kemenangan.
Satu kejadian.
Dua kejadian.
Apa ini artinya ada diri yang kapok dengan berjuang? Tidak. Hanya saja lagi-lagi, untuk kesekian kalinya, mundur itu lebih baik.
Bosan dikata pecundang.
Pernahkah ada di posisi bahwa melakukan sebuah mundur pun sebegitu perjuangannya?
Pernahkah ada di posisi, menerima suatu kekalahan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan?
Iya. Bendera putih. Menyerah? Lebih tepatnya memohonkan damai.
Aku hanya ingin bebas tersenyum kepadamu, hai kawan. Tanpa maksud mengusik. Tanpa maksud mengabrik.
Karena terimalah, Ibuku mewariskan sedikit karakter plegmatisnya kepadaku, jadilah aku si ahli pengemis damai.
Kemenangan? Masih sabar untuk tidak menemuiku, ya? Baiklah. Suatu hari nanti, ya, menang. I'll catch you.