Sapaannya Dinanti
Hujan adalah pesan, untukmu, yang menunggu kabar matahari senja di garis horizon semu, jembatan kota ini.
Hujan adalah nasehat, untukmu, yang tak mau berhenti bergerak, jiwa penolak kata lelah.
Hujan adalah peringatan, untukmu, yang tak bisa jika tak berkeluh, yang belum mau mencoba melirik sang putih.
Hujan, ya memang katanya untukmu, hai para penganut romantisme, pengobral rindu malu-malu, ataupun jenis rindu yang terang-terangan.
Andai hujan bisa tersenyum, mungkinkah ia sebegitu bahagia-nya melihat jutaan tangan menengadah panjatkan doa kala ia datang?
Andai hujan bisa menangis, mungkinkah ia yang tersedih, karena menjadi saksi pertumpahan darah manusia di bumi?
Andai hujan bisa marah, mungkinkah ia yang paling tidak suka, melihat celoteh manusia tak berilmu, otak tak bertuan?
Atau mungkin, dalam rintiknya, diam-diam hujan menertawakan tingkah manusia, ya?
---
Suatu hari, di kota ini, pada waktu yang bersamaan, ada 2 manusia yang saling menoreh senyum, bocah-bocah yang memancarkan keceriaan, pria paruh baya menyepi dengan korannya, wanita karir dengan laptopnya, namun juga ada tangan yang menggoreskan luka, lisan pemuda yang menyayat hati, ada jiwa yang kehilangan, dan masih banyak lagi potret kehidupan lainnya. Satu hal yang sama, mereka disapa tamu yg rutin datang, bernama rintik-rintik hujan.
Saking rutinnya, mereka kehilangan keistimewaan tamu itu. Dibiarkannya hujan turun, hingga berlalu, berlalu begitu saja.
Hujanku turun sekali lagi, membasahi tiap jejak hariku, menyapa jiwa-jiwa pendoa, lalu berhenti, ya, hujan pergi lagi.
PS: Dari hujan aku belajar, hebatnya rasa bernama rindu itu seperti hujan yang sesekali singgah, sapaannya dinanti.