Widget HTML Atas

Kecewa


Setidaknya ada satu hal yang membuat dirimu kecewa di dunia ini. Ya, mungkin aku pernah kecewa dengan kamu, kamu, kamu, dan kamu. Atau justru sebaliknya? Akulah penyebab utama kekecewaan dirimu di suatu hari kemarin. Jika ya, aku memohon maaf, ini bentuk lain dari ketidaksempurnaanku sebagai makhluk-Nya. Mohon maaf, untuk siapa saja yang pernah kukecewakan.

Kita bisa kecewa pada pengharapan. Pada apa-apa yang diingini tapi tak kunjung datang, pada apa-apa yang dibutuhkan tapi tak kunjung terpenuhi. Pada asumsi-asumsi kita, pada terkaan-terkaan tanpa data, pada keputusan, pada janji.

Kecewa itu hanya untuk orang-orang yang berharap, pepatah umum mengatakan.

Tentunya, masing-masing dari kita, yang pernah mengalami apa itu kecewa, bisa bungkam berulah agar tidak mengecewakan orang lain, bukan? Karena kita mengerti, setidak-menyenangkan itu merasa kecewa, lantas kita bertekad untuk tidak mengecewakan orang  lain. Setuju, kan? Atau justru... kita menjadi pribadi yang mengecewakan? Jangan, teman. Karena kata kerja mengecewakan, bukanlah amunisi yang baik untuk membayar kekecewaan diri. Rasa kecewa bukan ada untuk sebuah permainan balas dendam.

Ketika kekecewaan kita berbuah masalah baru, jangan-jangan seseorang di ujung sana-entah siapa, sudah menobatkan kita dengan label “tidak dewasa”. Ketika kekecewaan kita berujung perkara, jangan-jangan seseorang di ujung sana-entah siapa, terpancing membuat onar, rusuh lagi, makin masif akibatnya. Syukur-syukur, jika ada seseorang di ujung sana-entah siapa, yang dalam diamnya, masih ikhlas mendo’akan kita agar berhenti kecewa dan mengecewakan.

Karena bisa jadi, rasa ini diciptakan untuk kita cicipi kenikmatannya, sampai hati memahami makna memaafkan.

Selamat kecewa, dengan penutup memaafkan.