Widget HTML Atas

Mencoba Berbincang

Bagian I: Ketua Kelas Sekolah Dasar
Siapa yang mau jadi ketua kelas?
“Si A aja, Bu!”
“Si B aja, Bu!”
“C mau, Bu!”
“Baiklah. A, B, dan C, ayo maju ke depan, kalian dipilih oleh teman-teman untuk menjadi calon ketua kelas.”

Sesederhana memilih makanan mana yang ingin dibeli, tinggal tunjuk, langsung bungkus!
Tidak ada tuh, argumen semacam “Ih, si A nilainya jelek, masa mau milih ketua kelas kaya dia!”, “Ih jangan si B, kemarin dia gak mau piket di kelas.”, atau semacam “C tuh bandel tau orangnya, kok kamu mau ngajuin dia sih!”.

 Sekarang, semua tulis di kertas, tulis pilihan masing-masing ya, Pilih A, B, atau C. Hanya yang satu suara ya yang akan dianggap sah!”, Bu Guru melanjutkan. Sudah ditebak, kan, alur pemilihan selanjutnya? Kertas dikumpulkan, lalu ada dua orang sukarelawan: yang satu membacakan kertas-kertas suara di depan kelas, yang satunya lagi menuliskan turus hasil suara di papan tulis.

Saya ingat betul, tidak ada satu nyawa pun yang kemudian memenangkan salah satu calon dengan menambahkan kertas suaranya menjadi dua, atau sengaja menyembunyikan kertas temannya untuk sekadar mengurangi satu suara lawan. Alhasil, 48 suara sah dari jumlah 48 suara yang dikumpulkan.

Pelajaran pertama: Boleh dong, malu, dengan politiknya bocah, yang menjunjung tinggi kejujuran di hari H pemilihan. Malu dong kalau ternyata, salah satu dari kita yang secara tertulis sudah negara legalkan untuk memiliki hak suara, memilih memenangkan calon tanpa asas kejujuran. 

Ya iya bocah kan polos, tidak tahu apa-apa soal pemenangan calon pemimpin. Jangan Samakan.” 

Kalau itu bisa mempertahankan nilai sesungguhnya dari kejujuran, kenapa tidak?

Semoga saja, tidak ditemukan lagi berita semacam “Surat suara sudah bolong ketika di bilik, pemilih tidak sadar.” atau “Kubu X membayar kertas suara double untuk kemenangan calon X” atau “Kecurangan pemilu yang terjadi pada kubu X telah terungkap” seperti yang ada di pemilihan sebelumnya. Walapun harapan ini sangat amat idealis, saya masih sangat berharap, semoga saja memang tidak ditemukan lagi.

***

Bagian II: Ketua OSIS Sekolah Menengah Pertama
Bernostalgia ke masa Sekolah Menengah Pertama, saya dikenalkan dengan demokrasi bernama Pemilihan Ketua OSIS. Setelah mengikuti pelatihan kepemimpinan berhari-hari  dengan tugasnya, dilanjutkan acara menginap sebagai malam puncak:  acara pemilihan ketua OSIS itu sendiri. Para kandidat terpilih diminta maju ke depan. Hal yang berbeda dengan demokrasi Sekolah Dasar: Pada masa ini, saya dikenalkan apa itu pemaparan visi dan misi. Saya dikenalkan sistem bahwa massa diperbolehkan bertanya kepada para kandidat mengenai visi dan misi yang dibawa. Walaupun pertanyaan-pertanyaannya tidak banyak yang fokus pada visi dan misi mereka, berpikir kritis sudah mulai timbul di kalangan siswa SMP. Kurang lebih pertanyaan-pertanyaannya seputar:

Apa motivasi kamu menjadi ketua OSIS?”
Mau kamu bawa kemana OSIS kita?”
Kalau kamu tidak terpilih jadi ketua OSIS, bagaimana?”
Menurut kamu, evaluasi apa dari kinerja OSIS sebelumnya?”

SMP. Pelajaran awal berpikir kritis. Persaingan kecil sudah terlihat. Saya ingat betul di kanan-kiri bangku tempat saya duduk, sudah mulai ada yang bergerilya mengutarakan bisikan pendapat tentang calon di depan. “Menurut gue, A yang pantes jadi ketua OSIS, soalnya dia berwibawa, terus cara bicaranya bagus.”. Kemudian di lain sisi, ada yang menyangkal dengan cara yang hormat, “..tapi menurut gue, B yang pantes jadi ketua OSIS, dia selama LDK ini merangkul teman-temannya banget, ngajak kerja sama terus.
Kemudian mereka mengakhiri perdebatan dengan kalimat “Ya sih sama-sama ada positifnya, yaudah liat aja siapa yang menang, hahaha.

Pelajaran kedua: Boleh dong, belajar berkampanye dari anak SMP. Mereka menonjolkan sisi positif masing-masing calon yang mereka dukung, tanpa harus menjatuhkan pihak oposisinya. Lalu berakhir berdamai, tidak ada perselisihan berkepanjangan.

Lah, kalau yang negatif ga keungkap rakyat, bisa bahaya!”, Kita mau milih pemimpin atau milih kandidat nara pidana, sih?

“Saya suka senyam-senyum sendiri sama fanatis media sosial. Bukan bermaksud mengkritik personal atau pihak tertentu, tapi saya tuh suka bayangin, coba ya, kalau ghirah mereka ditempatkan untuk membela agama-Nya, kece banget kan punya banyak pasukan yang segitu semangatnya membela apa yang diyakini, rela “mendakwahkan” apa yang mereka yakini benar dan terbaik kepada publik dengan harap publik akan ikut apa yang dia menangkan.” –Seorang Abang

Wah, saya lebih senyam-senyum nih, Bang, dengan pernyataan Anda. Senyum setuju. :)

***

Bagian III: Ketua OSIS Sekolah Menengah Atas
Kalau bagian ini, saya bakal lebih subjektif ceritanya, hehehe. Dua tahun pertama dikenalkan pesta demokrasi di SMA, dua tahun pula saya harus berdiri menatap seluruh warga Smansa dari atas mimbar. *Lebih tepatnya kalau saya sih ga dari mimbar, tinggi badan tidak mencukupi.* (;P) Iya, ada di posisi harus meyakinkan itu tidak mudah. Punya apa saya untuk meyakinkan bahwa saya layak menjadi pemimpin mereka? Tapi yang saya tahu, mereka yang ada di lapangan saat itu, yang rela panas-panasan menonton aksi saya, adalah yang peduli dengan masa depan sekolah saya. Tidak rela jika sekolahnya, harus setahun dipimpin oleh orang yang tidak capable. Terus mengkritik secara mendalam soal visi misi yang calon-calonnya bawa. Terus meneriakkan: “Yakinkan kami kalau kalian pantas menjadi pemimpin Smansa!”, berkali-kali, berulang-ulang. Apa hanya sebatas selesai meyakinkan? Tidak, ternyata. Pemimpin bukan berhenti di sana saja.

Dengan hormat, Selamat pagi, Bapak-bapak Calon nomor 1 dan Bapak-bapak Calon nomor 2. Bagaimana rasanya dikritik, Pak? Bagaimana rasanya didukung? Apa Bapak juga merasakan hal yang sama, sesederhana perasaan saya dahulu di SMA? Apa Bapak juga bermelankolis, ketika kampanye akbar di suatu daerah, mereka meneriakkan nama Bapak tanda mendukung, lalu Bapak terharu? Lalu Bapak bertekad benar-benar ingin mewujudkan apa yang mereka impikan untuk bangsa ini? Dengan waktu bersamaan, ada juga yang menghujat Bapak, apa Bapak merasa sedih? Apakah kemudian Bapak bertekad dalam hati, menghapus rasa sedih itu dengan tekad tidak akan mengecewakan rakyat?  Bagaimana rasanya, Pak?



Pelajaran ketiga: Mari coba bayangkan, kita ada di posisi calon pemimpin itu, yang digunjing di sana-sini padahal sejatinya tidak bersalah, mau kita klarifikasi sejuta kali pun, haters kita akan tetap tidak percaya, bilang kita pencitraanlah, bilang kita pembual-lah, padahal kita teh tulus pisan. Sekali lagi, posisikan dulu menjadi orang lain. Empati itu tidak hanya harus dimiliki oleh seorang dokter atau psikolog saja, kan.

***
 
Memang, menjadi ketua kelas yang tugasnya hanya merapikan barisan setiap pagi, mengumumkan PR di kelas, memimpin doa belajar dan doa pulang, tidak bisa dipukul rata sebagai kepala negara yang harus "membariskan" rapi bangsa ini. Begitu juga menjadi ketua OSIS dengan jabatan yang hanya setahun, hasil kerja yang tidak signifikan juga tidak mengakibatkan perpecahan besar. Memang, keduanya tidak bisa disamakan dengan beban berat menjadi seorang kepala negara. Akan tetapi, kita perlu berefleksi pada dari mana asal kita diajarkan politik. Dari mana politik itu lahir dalam keseharian kita, yang seperti bayi, lahir dengan fitrah, bersih, sepolos itu, selugu itu, lalu semakin berumur, malah menjadi kotor. Jangan-jangan ada tangan kita yang berkontribusi atas kotornya politik? Jangan sampai.

Pesta demokrasi nasional semakin dekat. Hari yang akan menentukan, apakah mulut-mulut mereka yang selama beberapa bulan ini berkoar semangat memperjuangkan calon pilihannya-cukup berhasil memengaruhi pilihan publik. Hari yang akan menentukan apakah tulisan-tulisa indah sang simpatisan calon di media sosial, berhasil menyetir publik untuk yakin memilih dalam bilik. Hari yang akan menentukan, lapak media sosial Anda, yang akhir-akhir ini digunakan untuk share, post photo, like, berhasil membuat mereka yang kebingungan untuk meninggalkan niat golputnya. Sudah siapkah? Sudah siapkah untuk menghadapi atmosfer pasca-nya?

Terakhir,
Jangan cuman milih jodoh aja yang diikhtiarkan dengan sebaik-baiknya, memilih pemimpin juga perlu. Memilih jodoh terbaik untuk bangsa, juga harus dilakukan dengan cara-cara yang baik ^^

Satu untuk Indonesia.
Salam dua jari untuk perdamaian.