Widget HTML Atas

Tolong Menolong

Malam itu, kabar yang tidak baru tersurat di salah satu sosial media pribadi saya. Ya, lagi-lagi, seorang teman mengajak ngobrol di 25 menit menuju pukul 00.00 WIB. Saya lebih menamakannya sebagai diskusi singkat yang cukup berkualitas, karena ternyata, teman saya ini, membawa sebuah topik menyangkut orang lain, menyangkut orang banyak. Saya tidak akan menceritakan perihal diskusi kami. Saya cuma ingin menggambarkan dari mana inspirasi tulisan ini saya dapatkan.  

Singkat cerita, sebuah kesimpulan dari pembicaraan kami akhirnya diambil. Kesimpulan tersebut adalah tentang konsep tolong-menolong. Menurut KKBI, menolong berarti membantu untuk meringankan beban (penderitaan, kesukaran, dsb) dan kata tolong-menolong, tentu semua sudah tahu arti pentingnya: saling.
Melihat fenomena yang ada, definisi dan nilai menolong dan tolong-menolong tersebut menjadi bias. Mengapa? Hal ini dilatarbelakangi adanya sifat oportunis. Tidak dipungkiri, manusia akan cenderung memilih apa yang akan membawa keberuntungan untuk dirinya sendiri. Era inilah yang membuat saya, kamu, kita, seharusnya memiliki keahlian khusus dalam menyeleksi orang-orang mana saja yang patut dinobatkan sang hero, mana saja si pecundang.

Saya tidak bermaksud menyudutkan pihak tertentu. Terlontar sebuah pertanyaan dalam pikiran, untuk apa kamu menolong sebuah kesulitan? Untuk apa kamu meringankan beban orang lain? Untuk apa kamu membantu penderitaan sekitar? Dan untuk apa kamu menjadi individu yang katanya tolong-menolong?

Nilai sebuah tolong-menolong jauh dari sekadar uluran tanganmu yang terlihat publik, jauh dari sekadar ragamu yang dipertontonkan di depan khalayak, jauh dari sekadar bicaramu yang menggaung sekeliling, jauh lebih dari sekadar semua itu. Nilai itu terletak di hati masing-masing. Jika masih mengeluh karena kelelahan, jangan congkak memberi diri sebuah label “penolong sejati”. Jika masih mengeluh karena sulitnya hal yang dihadapi, jangan berani mengaku dirinya telah menjadi penolong yang baik. Dalam hal ini, harusnya apresiasi itu tidak usah ada, lalu kita lihat siapa-saja-yang-bertahan, kita lihat sejauh mana bualan ketulusan itu terbukti, kita lihat siapa-saja-yang memang pantas dijuluki-si-jiwa-penolong-sejati. Apresiasi, sekali lagi, harusnya tidak usah ada, jika dengannya, hanya akan melahirkan pahlawan bertopeng, semangat palsu, dan tim hore tak bermanfaat.

Pastinya, mereka, sang penolong sejati, sudah teramat merasa berkecukupan atas apresiasi yang berasal dari Tuhannya Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Masih sebuah pendapat pribadi atas diskusi singkat dengan teman saya malam itu: fitrah dari sifat menolong sudah mulai hilang. Turut berduka cita pada pemuda kekinian, yang menggebu-gebu, tapi hatinya kosong dari ketulusan. Yang pintar bercakap, namun rusak moralnya. Yang datang ketika haus dan lapar, namun pergi ketika merasa kenyang. Yang datang untuk eksistensi, lalu pergi dengan rasa tidak bersalah sama sekali. Yang ada untuk menyaksikan, lalu pergi, pergi lagi. Mereka kira ini pertunjukkan.

Tidak usah muluk-muluk mengurus orang lain untuk mengembalikan fitrah sifat menolong dan tolong menolong, melainkan urus saja kamu, iya, diri kamu! Kamu bisa pastikan diri kamu sendiri untuk tidak termasuk golongan penolong palsu, bukan?

Apa-apa betulin niatnya dulu, nasehat seseorang. 

Buat kamu, semangat ya! Masa seperti ini bukan ada untuk dilewati dengan kelelahan meminta tolong. Berhentilah minta tolong, biarkan “penolong-penolong” itu gugur dengan sendirinya. Ya, berhentilah minta tolong. Semakin sedikit yang ada di sini, semakin kamu bisa lebih menatap dekat, mata siapa saja yang benar tulus itu. Karena tolong yang baik itu bukan diminta. Karena mereka yang masih ada di sini, hingga dektik ini, bukan untuk memenangkan kamu, mereka adalah pemenang atas ketulusan hatinya sendiri.


Dari yang masih ingin terus memaknai,
arti tolong-menolong.